Selasa, 15 Januari 2013

Pesta Budaya Tabuik Pariaman 





PESTA TABUIK boleh dibilang identik dengan masyarakat Pariaman. Hoyak tabuik adalah pesta memperingati kematian Husein, cucu Nabi Muhammad S.A.W yang tewas dalam peperangan melawan tentara Yazid dan Bani Umayyah di Karbala, Irak pada tahun 61 Hijriyah. Upacara ini diselenggarkan setiap tanggal 1-10 Muharram. Di hari pesta hoyak tabuik, Pariaman selalu ramai oleh orang yang datang berhondoh-pondoh dari berbagai tempat.
Menurut Cameron Malik dalam (dikunjungi, 3-10-2010), adalah Resimen Tamil, yaitu tentara pribumi Inggris di Bengkulu, yang pertama kali memperkenalkan ritual tabuik pada abad ke-17. Anggota Resimen Tamil yang mayoritas beragama Islam itu menggelar pesta tabuik yang di Bengkulu bernama tabot. Perjanjian London 17 Maret 1824 mengharuskan Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda dan menerima pulau Tumasik (Singapura) yang semula dijajah Belanda. Anggota pasukan Tamil Inggris enggan pindah ke pulau Singapura yang berawa-rawa penuh nyamuk dan buaya itu. Mereka melakukan desersi dan lari ke daerah Pariaman. Karena pasukan Tamil beragama Islam, mereka dengan mudah diterima oleh masyarakat Pariaman yang pada saat itu juga tengah dimasuki ajaran Islam. Kemudian terjadilah pembauran budaya dengan masyarakat Pariaman seperti antara lain terefleksi dari pesta tabuik, yang hingga kini menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Pariaman.
Upacara tabuik terdiri dari serangkaian upacara yaitu: 1) upacara mengambil tanah; 2) upacara mengambil dan menebas batang pisang; 3) upacara mengarak jari-jari; 4) upacara mengarak sorban; 5) upacara tabuik naik pangkat; dan diakhiri dengan 6) upacara mengarak tabuik. Beberapa dari rangkaian upacara itu diiringi dengan gandang tambua, seperti pada upacara mengambil tanah, mengambil dan menebas batang pisang, mengarak sorban, mengarak jari-jari, dan prosesi menghoyak tabuik. (Cameron, ibid.).
Foto-foto yang disajikan di sini memperlihatkan cuplikan upacara tabuik pada dekade-dekade awal abad ke-20 di Pariaman. Foto-foto ini berasa dari beberapa koleksi Tropenmuseum di Amsterdam dan juga yang dibuat oleh seorang Belanda yang bernama J. Jongejans. Terlihat belum ada seliweran kabel listrik melintang jalan seperti sekarang yang menghalangi perarakan tabuik. Jumlah tabuik yang diarak mencapai tujuh buah. Terlihat betapa penuh sesaknya jalan utama di kota itu ketika tabuik diarak orang sebelum dibuang ke laut menjelang malam. Ribuan orang, besar-kecil, tua-muda, tumpah-ruah ke jalan seperti samuik tapangkua (semut tercangkul). Namun, sepertinya peserta perarakan tabuik didominasi oleh kaum lelaki. Barangkali kaum perempuan juga ikut, tapi hanya sekedar menyaksikan saja sambil menepi-nepi dari keramaian yang hiruk-pikuk itu. Sampai pertengahan abad ini boleh dikatakan ritual tabuik adalah pesta kaum lelaki. Ini masuk akal karena dimensi historis dan makna simbolisnya yang berhubungan dengan peperangan di zaman Bani Umayyah yang memang lebih banyak melibatkan kaum lelaki.
Sekarang ritual tabuik masih tetap diadakan setiap tahun di Pariaman, tapi tidak lagi semeriah dulu. Kadang-kadang masyarakat kekurangan dana untuk membuat tabuik. Ada pula terdengar kritik dari golongan Islam puritan: bahwa ritual tabuik harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Islam. Sejak dulu orang-orang yang menganut agama secara puritan dan memakai paham kacamata kuda selalu ingkin pentang kamari bedo dan mengalami masalah dengan kebudayaan nenek moyangnya sendiri dan modernisme yang dibawa oleh kemajuan sains dan teknologi.
Sebagai bagian dari tradisi, biarkanlah pesta tabuik tetap hidup di Pariaman. Toh, karena tabuik pula Pariaman menjadi ramai, seperti terefleksi dalam sebait pantun dalam lagu Kim yang khas Pariaman itu: Pariaman tadanga langang / Dek tabuik makonyo rami / Tuan di rantau tadanga sanang / Baolah japuik badan kami..



Berikut dibawah beberapa koleksi Foto-foto Tropenmuseum tentang meriahnya Tabuik di Pariaman ini.








Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: J. Jongejans, Taboet of- Hasan-Hosein feesten, Onze Aarde 12de Jrg. 1939: 326-330).